Definisi Etika
Etika (praksis)
diartikan sebagai nilai-nilai atau
norma-norma moral yang mendasari perilaku manusia.
Etos didefinisikan
sebagai ciri-ciri dari suatu masyarakat atau budaya.
Etos kerja,dimaksudkan
sebagai ciri-ciri dari kerja, khususnya pribadi atau kelompok yang melaksanakan
kerja, seperti disiplin, tanggung jawab, dedikasi, integritas, transparansi
dsb.
Etika (umum)
didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Dengan kata lain,
etika merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral.
Etika (luas) berarti
keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.
Etika (sempit) berarti
seperangkat nilai atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk
berbuat, bertindak atau berperilaku.
Karena berfungsi
sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut juga berfungsi sebagai kriteria
untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku.
Kode
Etik
Pengertian Kode etik adalah nilai-nilai,
norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur perilaku moral dari suatu
profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus dipenuhi dan ditaati
setiap anggota profesi.
Isi Kode Etik
•
Karena kode etik merupakan wujud dari komitmen
moral organisasi, maka kode etik harus berisi :
–
mengenai
apa yang boleh dan
–
apa
yang tidak boleh dilakukan oleh anggota profesi,
–
apa
yang harus didahulukan dan
–
apa
yang boleh dikorbankan oleh profesi
ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis,
–
tujuan
dan cita-cita luhur profesi, dan
–
bahkan sanksi yang akan dikenakan kepada
anggota profesi yang melanggar kode etik.
Tujuan Utama
Kode Etik
•
Terdapat dua tujuan utama dari kode
etik.
–
Kode etik bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan
kelalaian, kesalahan atau pelecehan, baik disengaja maupun
tidak disengaja oleh anggota profesi.
–
Kode etik bermaksud melindungi keluhuran
profesi dari perilaku perilaku menyimpang oleh anggota profesi.
Syarat Kode
Etik Optimal
•
Agar kode etik dapat berfungsi dengan
optimal, minimal ada 2 (dua) syarat
yang harus dipenuhi.
–
Kode
etik harus dibuat oleh profesinya sendiri. Kode etik tidak akan efektif apabila
ditentukan oleh pemerintah atau instansi di luar
profesi itu.
–
Pelaksanaan kode etik harus diawasi
secara terus-menerus. Setiap pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan
oleh suatu dewan yang khusus dibentuk.
Peranan Etika dalam Profesi Auditor
Audit membutuhkan
pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat
menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut
mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Itulah sebabnya profesi
auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan
panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit
Standar etika
diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang
kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan.
Kode etik atau aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para
auditor profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil
keputusan-keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan
atau permintaan tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada
prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi.
Oleh karena itu,
seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak
mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip
etika secara umum dan etika profesi. etis yang tinggi; mampu mengenali
situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk
mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.
Pentingnya Nilai-Nilai Etika dalam
Auditing
Beragam masalah etis
berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan auditing. Banyak auditor
menghadapi masalah serius karena mereka melakukan hal-hal kecil yang tak satu
pun tampak mengandung kesalahan serius, namun ternyata hanya menumpuknya hingga
menjadi suatu kesalahan yang besar dan merupakan pelanggaran serius terhadap
kepercayaan yang diberikan.
Untuk itu pengetahuan
akan tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan memberikan peluang untuk
melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama, akan membangun suasana etis
di lingkungan kerja.
Masalah-masalah etika
yang dapat dijumpai oleh auditor yang
meliputi permintaan atau tekanan untuk:
- Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya
- Mengungkapkan informasi rahasia
- Mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan sebagainya.
- Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan.
Dilema Etika
Dilema etika adalah
situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas
harus dibuat.
Auditor banyak
menghadapi dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan
auditan jelas merupakan dilema etika.
Ada beberapa alternatif
pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang
merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Berikut ini adalah metode rasionalisasi
yang biasanya digunakan bagi perilaku tidak beretika:
1. Semua
orang melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan pelaporan pajak,
pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa
semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat diterima.
2. Jika
itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku
legal adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan
pemikiran ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan
seseorang.
3. Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini
bergantung pada evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya,
seseorang akan memberikan hukuman
(konsekuensi) pada temuan tersebut.
Pemecahan Dilema Etika
•
Pendekatan enam langkah berikut ini
merupakan pendekatan sederhana untuk memecahkan dilema etika:
1. Dapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Identifikasi
isu-isu etika dari fakta-fakta yang ada
3. Tentukan
siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilema etika
4. Identifikasi
alternatif-alternatif yang tersedia bagi orang yang memecahkan dilema etika
5. Identifikasi
konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif
6. Tetapkan
tindakan yang tepat.
Kode Etik Akuntan Indonesia
Etika profesional bagi
praktik akuntan di Indonesia ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan
disebut dengan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Dalam hubungan ini
perlu diingat bahwa IAI adalah satu-atunya organisasi profesi akuntan di Indonesia. Anggota IAI meliputi
auditor dalam berbagai jenisnya (auditor independen/publik,
auditor intern dan auditor pemerintah), akuntan manajemen, dan akuntan
pendidik. Oleh sebab itu, kode etik IAI berlaku bagi semua anggota IAI, tidak
terbatas pada akuntan anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik.
Kode Etik Akuntan
Indonesia mempunyai struktur seperti kode etik AICPA yang meliputi prinsip
etika, aturan etika dan interpretasi aturan etika yang diikuti dengan tanya
jawab dalam kaitannya dengan interpretasi aturan etika.
Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik
IAI ada 8 (delapan), yaitu:
1. Tanggung
Jawab
2. Kepentingan
Umum (Publik)
3. Integritas
4. Obyektivitas
5. Kompetensi
dan Kehati-hatian Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku
Profesional
8. Standar
Teknis
Kode Etik INTOSAI
•
Kode etik INTOSAI terdiri dari:
(1)
integritas,
(2)
independen, obyektif dan tidak
memihak,
(3) kerahasiaan dan
(4) kompetensi.
•
Dalam
paragaraf 15 dan 18, INTOSAI menyatakan bahwa auditor tidak hanya
bersifat independen terhadap auditan dan pihak lainnya, tetapi juga harus
obyektif dalam menghadapi berbagai masalah yang direviu.
Government Accounting Standards dari US
GAO
•
Dalam
paragraf 1.19, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab
profesionalnya, auditor harus menjaga :
1. integritas,
2. obyektifitas
dan
3. independensi.
•
Organisasi
pemeriksa juga memiliki tanggung jawab dalam memberikan
keyakinan yang memadai bahwa
independensi dan obyektifitas dilaksanakan dalam semua tahap penugasan.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
BPK
Berkaitan dengan
independensi, SPKN menyatakannya dalam standar umum kedua, yang berbunyi “Dalam
semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan
pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa baik pemerintahan maupun akuntan publik, harus bebas baik
dalam sikap mental maupun
penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi
independensinya.”
Hal yang berkaitan dengan obyektif
dinyatakan dalam paragraph 2.15, yaitu
–
“pemeriksa harus obyektif dan bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan tanggung jawab
profesionalnya.
Aturan Etika
Kompartemen Akuntan Sektor Publik
Aturan etika merupakan
penjabaran lebih lanjut dari prinsip-prinsip etika dan ditetapkan untuk
masing-masing kompartemen.
Untuk akuntan sektor
publik, aturan etika ditetapkan oleh IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik
(IAI-KASP).
Sampai saat ini, aturan
etika ini masih dalam bentuk exposure draft, yang penyusunannya mengacu pada
Standard of Professional Practice on Ethics yang diterbitkan oleh the
International Federation of Accountants (IFAC).
Berdasarkan aturan etika
ini, seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki karakteristik
yang mencakup:
1. Penguasaan keahlian intelektual yang diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan.
2. Kesediaan
melakukan tugas untuk masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk auditan.
3. Berpandangan
obyektif.
4. Penyediaan layanan dengan standar pelaksanaan tugas dan
kinerja yang tinggi.
Penerapan aturan etika ini dilakukan
untuk mendukung tercapainya tujuan
profesi akuntan yaitu:
–
bekerja dengan standar profesi yang
tinggi,
–
mencapai tingkat kinerja yang diharapkan
dan
–
mencapai tingkat kinerja yang memenuhi
persyaratan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu,
menurut aturan etika IAI-KASP, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi,
yaitu:
1. Kredibilitas
akan informasi dan sistem informasi.
2. Kualitas
layanan yang didasarkan pada standar kinerja yang tinggi.
3. Keyakinan
pengguna layanan bahwa adanya kerangka etika profesional dan standar teknis
yang mengatur persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan.
Aturan etika IAI-KASP memuat tujuh prinsip-prinsip dasar perilaku etis
auditor dan empat panduan umum lainnya berkenaan dengan perilaku etis tersebut.
Ketujuh prinsip dasar
tersebut adalah: integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian,
kerahasiaan, ketepatan bertindak, dan standar teknis dan profesional.
Empat panduan umum
mengatur hal-hal yang terkait dengan good governance, pertentangan
kepentingan, fasilitas dan hadiah, serta
penerapan aturan etika bagi anggota profesi yang bekerja di luar
negeri.
Integritas
Integritas berkaitan
dengan profesi auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi kebenaran
dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat dapat
dipercaya, bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Hal ini ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan
personal ketika memberikan layanan profesional kepada instansi tempat auditor
bekerja dan kepada auditannya. Misalnya,
auditor seringkali menghadapi situasi di mana terdapat
berbagai alternatif penyajian informasi yang dapat
menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang berbeda-beda. Dengan berbagai tekanan yang ada untuk
memanipulasi fakta-fakta, auditor yang berintegritas mampu bertahan dari
berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif mungkin.
Auditor perlu
mendokumentasikan setiap pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam situasi
penuh tekanan tersebut.
Obyektivitas
Auditor yang obyektif
adalah auditor yang tidak memihak sehingga independensi profesinya dapat
dipertahankan. Dalam mengambil keputusan atau tindakan, ia tidak boleh
bertindak atas dasar prasangka atau bias, pertentangan kepentingan, atau
pengaruh dari pihak lain.
Obyektivitas
dipraktikkan ketika auditor mengambil keputusan2 dalam kegiatan auditnya. Auditor yang obyektif adalah auditor yang
mengambil keputusan berdasarkan seluruh bukti yang tersedia, dan bukannya
karena pengaruh atau berdasarkan
pendapat atau prasangka pribadi maupun tekanan dan pengaruh orang
lain.
Obyektivitas auditor
dapat terancam karena berbagai hal. Situasisituasi tertentu dapat menghadapkan
auditor pada tekanan yang mengancam obyektivitasnya, seperti hubungan
kekerabatan antara auditor dengan pejabat yang diaudit. Obyektivitas auditor
juga dapat terancam karena tekanantekanan pihak-pihak tertentu, seperti ancaman
secara fisik. Untuk itu, auditor harus tetap menunjukkan sikap rasional dalam
mengidentifikasi situasi-situasi atau tekanan-tekanan yang dapat mengganggu
obyektivitasnya.
Ketidakmampuan auditor
dalam menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam aturan etika
karena keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu menunjukkan indikasi adanya kekurangan
obyektivitas.
Hubungan finansial dan
non-finansial dapat mengganggu kemampuan auditor dalam menjalankan prinsip
obyektivitas. Misalnya, auditor memegang jabatan komisaris bersama-sama dengan auditan pada suatu perusahaan sedikit
banyak
akan mempengaruhi obyektivitas auditor tersebut ketika mengaudit auditan.
Transaksi peminjaman
dari auditan atau investasi pada auditan dapat mendorong auditor menyajikan
temuan audit yang berbeda dengan keadaan sebenarnya, terutama bila temuan
tersebut berpengaruh terhadap keuangannya.
Kompetensi dan Kehati-hatian
Agar dapat memberikan
layanan audit yang berkualitas, auditor harus memiliki dan mempertahankan
kompetensi dan ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu meningkatkan
pengetahuan dan keahlian profesinya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa instansi tempat ia
bekerja atau auditan dapat menerima manfaat dari layanan
profesinya berdasarkan pengembangan praktik, ketentuan, dan teknik-teknik yang
terbaru.
Berdasarkan prinsip
dasar ini, auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila ia memiliki
kompetensi yang diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli yang kompeten untuk melaksanakan
tugas-tugasnya secara memuaskan.
Berkenaan dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatu penugasan
audit, auditor harus dapat memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan
pelatihan yang relevan. Pendidikan dan pelatihan ini dapat bersifat umum dengan
standar tinggi yang diikuti dengan pendidikan khusus, sertifikasi, serta
pengalaman kerja. Kompetensi yang diperoleh ini harus selalu dipertahankan dan dikembangkan dengan terus-menerus
mengikuti perkembangan dalam profesi akuntansi, termasuk
melalui penerbitan penerbitan nasional dan internasional yang relevan dengan
akuntansi, auditing, dan keterampilan-keterampilan teknis lainnya.
Kerahasiaan
Auditor harus mampu menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperolehnya
dalam melakukan audit, walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus
dilakukan secara terbuka dan transparan
Dalam prinsip
kerahasiaan ini juga, auditor dilarang untuk menggunakan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan
pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan finansial.
Prinsip kerahasiaan tidak berlaku dalam
situasi-situasi berikut:
–
Pengungkapan yang diijinkan oleh pihak
yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat ia bekerja. Dalam melakukan
pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak,
tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja, tetapi juga termasuk
pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari pengungkapan informasi ini.
–
Pengungkapan yang diwajibkan berdasarkan
peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana pencucian uang, tindakan
KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya.
–
Pengungkapan untuk kepentingan
masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang.
Bila auditor memutuskan
untuk mengungkapkan informasi karena situasisituasi di atas, ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan, yaitu:
–
Fakta-fakta yang diungkapkan telah
mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya pertimbangan profesional
penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta tersebut tidak didukung dengan
bukti yang kuat.
–
Pihak-pihak
yang menerima informasi adalah pihak yang tepat dan memiliki
tanggung jawab untuk bertindak atas dasar informasi tersebut.
–
Perlunya nasihat hukum yang profesional atau
konsultasi dengan organisasi yang tepat sebelum melakukan pengungkapan
informasi.
Ketepatan Bertindak
Auditor harus dapat
bertindak konsisten dalam mempertahankan reputasi profesi serta lembaga profesi
akuntan sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan yang dapat
mendiskreditkan lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor profesional.
Tindakan-tindakan yang
tepat ini perlu dipromosikan melalui kepemimpinan dan keteladanan. Apabila
auditor mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang tidak benar, maka
auditor tersebut harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
melindungi masyarakat, profesi, lembaga profesi, instansi tempat ia bekerja dan anggota profesi lainnya dari
tindakan-tindakan auditor lain yang tidak benar tersebut.
Untuk itu, ia harus
mengumpulkan bukti-bukti dari tindakan yang tidak benar tersebut dan
menuangkannya dalam suatu laporan yang dibuat secara jujur dan dapat
dipertahankan kebenarannya. Auditor kemudian melaporkan kepada pihak yang
berwenang atas tindakan yang tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari
auditor yang melakukan tindakan yang tidak benar tersebut atau kepada pihak
yang berwajib apabila pelanggarannya menyangkut tindak pidana.
Standar teknis dan professional
Auditor harus melakukan
audit sesuai dengan standar audit yang berlaku, yang meliputi standar teknis
dan profesional yang relevan. Standar ini ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia.
Pada instansi-instansi
audit publik, terdapat juga standar audit yang mereka tetapkan dan berlaku bagi
para auditornya, termasuk aturan perilaku yang ditetapkan oleh instansi tempat
ia bekerja.
Dalam hal terdapat
perbedaan dan/atau pertentangan antara standar audit dan aturan profesi dengan
standar audit dan aturan
instansi, maka permasalahannya dikembalikan kepada masing-masing
lembaga penyusun standar dan aturan tersebut.
Panduan Umum Lainnya pada Aturan Etika
IAI-KASP
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya, panduan umum lainnya yang tercantum dalam aturan etika
IAI-KASP terdiri dari empat hal yaitu :
–
panduan good governance dari
organisasi/instansi tempat auditor bekerja,
–
panduan identifikasi pertentangan
kepentingan,
–
panduan atas pemberian fasilitas dan
hadiah, dan
–
panduan penerapan aturan etika bagi
auditor yang bekerja di luar wilayah hukum aturan etika.
Good Governance
Auditor diharapkan
mendukung penerapan good governance pada organisasi atau instansi tempat ia bekerja,
yang meliputi prinsip-prinsip berikut:
–
Tidak
mementingkan diri sendiri
–
Integritas
–
Obyektivitas
–
Akuntabilitas
–
Keterbukaan
–
Kejujuran
–
Kepemimpinan
Struktur dan proses
organisasi atau instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal berikut yaitu:
akuntabilitas keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan dana publik,
komunikasi dengan stakeholders, dan peran dan tanggung jawab dan keseimbangan
kekuasaan antara stakeholders dan pengelola.
Instansinya juga harus
memiliki mekanisme pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang mencakup:
pelaporan tahunan, manajemen risiko dan audit internal, komite audit, komite
penelaah kinerja, dan audit eksternal. Instansinya juga harus memiliki standar
perilaku yang mencakup
kepemimpinan dan aturan perilaku.
Pertentangan Kepentingan
Beberapa hal yang tercantum dalam aturan
etika yang dapat mengindikasikan adanya pertentangan kepentingan yang dihadapi
oleh auditor sektor publik adalah:
1. Adanya tekanan dari atasan, rekan kerja, maupun auditan
di tempat kerja (instansinya).
2. Adanya
tekanan dari pihak luar seperti keluarga atau relasi.
3. Adanya
tuntutan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan standar atau aturan.
4. Adanya
tuntutan loyalitas kepada organisasi atau atasan yang bertentangan dengan kepatuhan atas standar profesi.
5. Adanya
publikasi informasi yang bias sehingga menguntungkan instansinya.
6. Adanya
peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi atas beban instansi tempat ia bekerja atau auditan.
Fasilitas dan Hadiah
Auditor dapat menerima fasilitas atau hadiah dari
pihak-pihak yang memiliki atau akan memiliki hubungan kontraktual dengannya
dengan mengacu dan memperhatikan seluruh peraturan perundang-undangan mengenai
tindak pidana korupsi, dengan melakukan tindakan-tindakan berikut:
1.
Melakukan pertimbangan atau penerimaan fasilitas
atau hadiah yang normal dan masuk akal, artinya auditor juga akan menerima hal
yang sama pada instansi tempat ia bekerja apabila ia melakukan hal yang sama.
2.
Meyakinkan diri bahwa besarnya pemberian tidak
menimbulkan persepsi masyarakat bahwa auditor akan terpengaruh oleh pemberian
tersebut.
3.
Mencatat semua tawaran pemberian fasilitas atau
hadiah, baik yang diterima maupun yang ditolak, dan melaporkan catatan
tersebut.
4.
Menolak tawaran-tawaran fasilitas atau hadiah
yang meragukan
Pemberlakuan Aturan Etika bagi Auditor yang
Bekerja di Luar Negeri
Pada dasarnya auditor harus
menerapkan aturan yang paling keras apabila auditor dihadapkan pada dua aturan
berbeda yang berlaku ketika ia bekerja di luar negeri, yaitu aturan etika
profesinya di Indonesia dan aturan etika yang berlaku di luar negeri.
.
Independensi Auditor
Sesuai dengan etika
profesi, akuntan yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan memiliki sikap
independensi dalam setiap pelaksanaan audit.
Dalam kaitannya dengan
auditor, independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu kepada kebebasan dari hubungan (freedom from
relationship) yang merusak atau tampaknya merusak kemampuan
akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi, independensi diartikan sebagai
kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
Selain itu, terdapat
pengertian lain tentang independensi yang berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan
pengujian, evaluasi hasil
pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Independensi harus dipandang
sebagai salah satu ciri auditor yang paling penting.
Alasannya adalah begitu
banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan laporan
keuangan berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
Independensi dan
Profesionalisme Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak menggunakan
pertimbangannya hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas auditor, setiap
pertimbangan mengenai kepentingan auditan harus disubordinasikan kepada
kewajiban atau tanggung jawab yang lebih besar yaitu kewajiban terhadap
pihak-pihak ketiga dan kepada publik. Prinsip kunci dari seluruh gagasan
profesionalisme adalah bahwa seorang profesional memiliki pengalaman dan
kemampuan mengenali/memahami bidang tertentu yang lebih tinggi dari auditan. Oleh
karena itu, profesional tersebut seharusnya tidak mensubordinasikan
pertimbangannya kepada keinginan auditan.
Sikap mental independen
harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in
appearance).
Independensi dalam kenyataan
akan ada apabila pada kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang
tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit.
Independen dalam
penampilan berarti hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi. Apabila
auditor memiliki sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain yang
berkepentingan yakin bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka
sebagian besar nilai fungsi auditnya akan sia-sia.
Independensi
dalam Kenyataan
Independensi dalam
kenyataan merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam profesi
akuntansi. Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk sebagian besar
independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan sehari-hari
seorang profesional. Namun mereka
gagal untuk memberikan bukti penegasan ini atau bahkan untuk menjelaskan
mengapa mereka percaya bahwa hal itu benar demikian Adalah hal yang sulit untuk
membedakan sifat-sifat utama yang diperlukan untuk independensi dalam kenyataan.
Audit dikatakan gagal jika seorang auditor memberikan pendapat kepada pihak
ketiga bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku umum padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
Seringkali kegagalan audit disebabkan oleh tidak adanya independensi.
Contoh tidak adanya
independensi dalam kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan skeptisisme,
menyetujui pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang lingkup audit
atau dengan tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi auditan.
Beberapa pihak juga percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan perwujudan dari
tiadanya independensi dalam kenyataan.
Independensi
dalam Penampilan
Independensi dalam
penampilan mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai
independensi auditor. Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status
independensi dari auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen
dalam kenyataan, tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor berpihak kepada auditan, maka sebagian nilai
fungsi audit akan hilang.
Adanya persepsi
mengenai tidak adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya menurunkan nilai
laporan audit tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk terhadap profesi.
Auditor berperan untuk memberikan suatu pendapat yang tidak bias pada informasi
keuangan yang dilaporkan berdasarkan pertimbangan profesional. Jika auditor
secara keseluruhan tidak dianggap independen, maka validitas peran auditor di
dalam masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi pada akhirnya bergantung
kepada persepsi masyarakat mengenai independensi (independensi dalam
penampilan), bukan independensi dalam kenyataan.
KKN dan Tindakan Melanggar Hukum Lainnya
Korupsi, yang di era reformasi ini disandingkan
dengan dua jenis tindakan lainnya yaitu kolusi dan
nepotisme, merupakan isu etika yang sangat menonjol dan mendapatkan banyak
perhatian. Secara ekonomi dan politik, korupsi dinilai memiliki dampak yang
luar biasa karena menghambat pertumbuhan ekonomi dan demokrasi.
Oleh sebab itu,
Indonesia telah membentuk kerangka
dan kelembagaan untuk memberantas korupsi. Terakhir, pemerintah
telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebuah lembaga independen
anti-korupsi.
Dari sudut pandang
etika, korupsi dalam konteks administrasi publik didefinisikan sebagai
penggunaan jabatan, posisi, fasilitas atau sumber daya publik untuk kepentingan
atau keuntungan pribadi. Dengan demikian, korupsi pada dasarnya merupakan
pelanggaran terhadap kepercayaan publik yang diberikan kepada pegawai atau
pejabat publik.
Kepentingan atau
keuntungan pribadi dalam
definisi tersebut tidak terbatas pada keuntungan keuangan, tetapi meliputi
juga semua jenis manfaat sekali pun tidak secara langsung berkaitan dengan diri
pegawai atau pejabat publik yang bersangkutan.
Dari definisi tersebut,
maka sebenarnya banyak sekali tindakan pegawai atau pejabat publik yang dapat
dikategorikan korupsi.
Contohnya adalah
pembelian atau pembayaran fiktif, mark up harga pembelian, penerimaan
suap, mangkir kerja dan penerimaan hadiah, parcel atau sumbangan.
Perbuatan-perbuatan tersebut melanggar sumpah dan janji pegawai negeri dan
sekaligus melanggar prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, keadilan,
obyektivitas dan legalitas.
Dari sudut pandang
hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, korupsi merupakan tindak pidana yang diartikan sebagai perbuatan
melawan hukum, memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan negara atau perekonomian
negara.
Dengan demikian, secara
hukum suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika memenuhi tiga
kondisi, yaitu:
1. melawan
hukum,
2. menguntungkan
diri sendiri,
3. merugikan
negara.
Selain itu, termasuk
pula korupsi adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada
karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau
korporasi, dan perbuatan tersebut merugikan negara
Dalam era reformasi
sekarang ini, penggunaan istilah korupsi selalu disandingkan dengan kata kolusi
dan nepotisme. Kolusi, seperti halnya definisi yang digunakan dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengacu kepada permufakatan atau
kerja sama (secara melawan hukum) dengan sesama pegawai atau pejabat publik
atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Sementara itu,
nepotisme diartikan sebagai perbuatan oleh pegawai/pejabat publik (secara
melawan hukum) yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam konteks
administrasi publik, kolusi dan
nepotisme merupakan bentuk pelanggaran etika pelayanan publik,
dan sebenarnya keduanya dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk dari tindakan
korupsi, atau sebagai bagian dari tindak korupsi.
Pengendalian Mutu Audit
Hasil audit diperlukan
oleh berbagai pihak sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan. Opini auditor
yang tidak akurat akan memberikan dampak yang buruk. Karenanya, timbul suatu
kebutuhan untuk menjaga kualitas laporan audit sehingga mencegah pengambilan
keputusan yang kurang tepat.
Dalam penugasan audit, auditor
harus mematuhi standar audit. Oleh karena itu, organisasi pemeriksa harus
membuat kebijakan dan prosedur pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan
memadai tentang kesesuaian penugasan audit dengan standar audit.
Pengendalian mutu
terdiri metode yang digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi pemeriksa telah
menerapkan dan mematuhi kemahiran profesionalnya, termasuk standar, kebijakan
dan prosedur pemeriksaan secara memadai.
Pengendalian mutu
berhubungan erat, tetapi tidak sama dengan standar audit. Pengendalian mutu
adalah prosedur yang digunakan organisasi pemeriksa di setiap penugasan audit
untuk membantu mereka memenuhi standar
audit secara konsisten. Oleh karena itu, pengendalian mutu ditujukan untuk
organisasi pemeriksa secara keseluruhan, sedangkan audit standar berlaku untuk
setiap penugasan audit.
Sifat dan lingkup
sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa sangat tergantung pada beberapa
faktor, seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang diberikan kepada staf
dan organisasi pemeriksa, sifat pekerjaan, struktur organisasi, pertimbangan
mengenai biaya dan manfaatnya.
Pada mulanya terdapat 9
(sembilan) elemen pengendalian mutu, namun dikurangi menjadi 5 (lima), yang
akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Peer Review
Menurut Internal
Quality Review, istilah peer review memiliki arti eksternal reviu dan evaluasi kualitas dan efektivitas
program akademis, staffing, dan struktur, yang
dilaksanakan oleh pihak eksternal yang memiliki keahlian di bidang yang direviu.
Dalam konteks audit sektor publik, peer review
memiliki arti penilaian apakah organisasi pemeriksa telah memenuhi standar
pemeriksaan. Beberapa reviu biasanya melibatkan auditor yang berpengalaman dari organisasi pemeriksaan lainnya.
Pelaksanaan peer review memiliki tujuan untuk menentukan dan
melaporkan apakah organisasi pemriksa telah melaksanakan
kebijakan dan prosedur untuk kelima elemen pengendalian mutu dan menerapkannya
dalam praktek audit.
Peer review sendiri
bukan untuk mengkritik proses audit tertentu, tetapi untuk menentukan
pengendalian audit yang tepat , bagaimana pengendalian ini diterapkan, gap pengendalian
dan cara untuk meningkatkan sistem kualitas audit.
Peer review dalam SPKN
dinyatakan dalam paragraph 4.38 yaitu “Organisasi pemeriksa
yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan harus direviu paling tidak sekali dalam 5 (lima)
tahun oleh organisasi pemeriksa eksternal yang berwenang yang
tidak mempunyai kaitan dengan organisasi
pemeriksa yang direviu.
Penilaian atas penegendalian mutu pemeriksaan oleh pihak
luar yang kompeten adalah untuk menentukan apakah sistem pengendalian mutu
pemeriksaan sudah dibuat dan dilaksanakan dengan efektif, sehingga dapat
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang
ditetapkan dan standar peemriksaan yang berlaku telah dipatuhi.”
Pelaksanaan Peer
Review di BPK
Pada Agustus 2004, BPK menyelesaikan
peer review untuk pertama kalinya.
Peer review tersebut dilaksanakan oleh 3 (tiga) pihak dari Badan Audit New Zealand, yaitu
–
Direktur
Eksekutif New Zealand,
–
Direktur
Audit New
Zealand, dan
–
Direktur Asosiasi Audit New Zealand.
Peer review ini didanai
oleh Bank Dunia. Pada akhir peer review, dibuatkan laporan yang diberikan
kepada DPR.
Peer review
terdiri dari:
–
legislasi,
–
akuntabilitas
parlemen,
–
kapabilitas
dan desain organisasi,
–
implementasi
dan pelaksanaan audit.
Reviu dilaksanakan
dalam dua tahap:
–
Tahap
pertama merupakan perencanaan, penentuan ruang lingkup dan
wawancara anggota BPK dan manajemen senior untuk menganalisis dokumen yang
penting dan material.
–
Tahap kedua terdiri dari wawancara lebih
lanjut dengan orang-orang yang kompeten di BPK, tetapi lebih difokuskan kepada
reviu sampel audit yang telah dilaksanakan BPK.
Sumber :
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=etika%20dan%20profesional%20auditor&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fsuhardi.ubb.ac.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2012%2F02%2Fmateri-3.pptx&ei=catrUcymEsqzrAf-w4CYCA&usg=AFQjCNHROn5g6cqfaQo4DKX4JDblkUC81A&bvm=bv.45175338,d.bmk
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=etika%20dan%20profesional%20auditor&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fsuhardi.ubb.ac.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2012%2F02%2Fmateri-3.pptx&ei=catrUcymEsqzrAf-w4CYCA&usg=AFQjCNHROn5g6cqfaQo4DKX4JDblkUC81A&bvm=bv.45175338,d.bmk